Tertib dan Berkesinambungan dalam Wudhu: Wajibkah Menurut Pandangan Ulama? – Wudhu merupakan salah satu syarat sah shalat yang sangat penting dalam Islam. Tanpa wudhu yang sah, shalat seseorang tidak akan diterima. Karena itu, memahami tata cara dan ketentuan wudhu menjadi hal yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang menjadi pembahasan para ulama, di antaranya adalah tertib (berurutan) dan muwalah (berkesinambungan) dalam wudhu. Dua hal ini sering kali menjadi perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab.
Tulisan ini akan membahas secara mendalam dua hal tersebut—tertib dan berkesinambungan dalam wudhu—berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, serta pandangan para ulama dari empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Makna Tertib dan Dalilnya
Pengertian Tertib
Tertib secara bahasa berarti “berurutan” atau “susunannya teratur”. Dalam konteks wudhu, tertib bermakna mengerjakan anggota-anggota wudhu sesuai dengan urutan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yakni:
- Membasuh wajah, 
- Membasuh kedua tangan sampai siku, 
- Mengusap kepala, 
- Membasuh kedua kaki sampai mata kaki. 
Dalil Al-Qur’an tentang Tertib
Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(QS. Al-Maidah: 6)
Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan urutan anggota wudhu dengan kata penghubung “dan” (وَ), dimulai dari wajah, kemudian tangan, lalu kepala, dan terakhir kaki. Urutan ini menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan cara berwudhu dengan susunan tertentu.
Pandangan Para Ulama Tentang Kewajiban Tertib
1. Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Tertib Hukumnya Wajib
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tertib adalah wajib dalam wudhu. Jika seseorang tidak melakukannya secara berurutan sesuai urutan ayat, maka wudhunya tidak sah.
Dalil-Dalilnya
a. Dalil Al-Qur’an:
 Urutan dalam ayat Al-Maidah ayat 6 menunjukkan perintah untuk melaksanakan wudhu secara tertib. Allah mendahulukan penyebutan wajah, kemudian tangan, kepala, dan kaki.
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa ketika Allah menyebutkan sesuatu dalam urutan perintah, hal itu mengandung makna wajib untuk mengikuti urutannya kecuali ada dalil yang memalingkan.
b. Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
 Rasulullah bersabda:
“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.”
(HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam berwudhu mengikuti urutan sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam ayat. Beliau tidak mendahulukan atau membalik urutan tersebut, menunjukkan adanya tuntunan untuk berwudhu secara tertib.
c. Konsistensi Rasulullah dalam praktik wudhu:
 Dalam berbagai riwayat sahih, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, para sahabat menggambarkan wudhu Rasulullah yang selalu dilakukan dengan urutan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, tanpa pernah tertukar antara satu anggota dengan yang lain. Ini menunjukkan bahwa tertib merupakan bagian dari tuntunan yang harus diikuti.
d. Susunan Ayat yang Hikmah:
 Dalam ayat tersebut, Allah meletakkan mengusap kepala di antara dua anggota yang dibasuh (tangan dan kaki). Para ulama menjelaskan bahwa susunan ini tidak mungkin dilakukan secara acak, karena menunjukkan pola tertib yang disengaja. Jika tertib tidak wajib, tentu Allah akan mengelompokkan semua anggota yang dibasuh dalam satu bagian ayat, baru kemudian menyebutkan yang diusap.
2. Mazhab Hanafi dan Maliki: Tertib Tidak Wajib
Sementara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa tertib tidak wajib, melainkan sunnah. Artinya, apabila seseorang membasuh anggota wudhunya tidak sesuai urutan, maka wudhunya tetap sah, meskipun kehilangan keutamaan.
Alasan Mereka
a. Huruf penghubung “dan” (وَ) tidak mengharuskan urutan.
Dalam bahasa Arab, kata sambung “dan” hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua perintah tanpa menunjukkan kewajiban urutan. Misalnya dalam firman Allah:
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Tidak berarti bahwa zakat harus dilakukan setelah shalat, melainkan keduanya adalah perintah yang terpisah.
b. Tidak ada nash tegas yang menyebutkan urutan sebagai syarat sah.
Menurut mereka, tidak terdapat dalil eksplisit yang menegaskan bahwa urutan menjadi syarat sah wudhu. Maka, selama seluruh anggota wajib telah dibasuh, wudhu tetap dianggap sah.
3. Pendapat yang Rajih (Lebih Kuat)
Pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad dinilai lebih kuat dari segi dalil. Sebab, praktik Rasulullah ﷺ yang selalu berurutan dalam wudhu bukan sekadar kebiasaan, tetapi bentuk ittiba’ terhadap perintah Allah dalam Al-Qur’an. Di samping itu, sabda beliau “Aku memulai dengan apa yang Allah mulai” menunjukkan adanya penegasan hukum tertib.
Oleh karena itu, tertib dalam wudhu termasuk bagian dari kewajiban, dan meninggalkannya menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a‘lam.
Makna Berkesinambungan (Muwalah) dalam Wudhu
Pengertian Muwalah
Muwalah secara bahasa berarti “mengiringi sesuatu tanpa jeda”. Dalam konteks wudhu, maknanya adalah membasuh anggota wudhu secara berurutan tanpa diselingi waktu yang lama sehingga anggota sebelumnya mengering sebelum membasuh anggota berikutnya. Dengan kata lain, tidak ada jeda panjang yang memutus kesinambungan wudhu.
Pandangan Ulama Tentang Kewajiban Berkesinambungan
1. Mazhab Hanbali: Berkesinambungan Hukumnya Wajib
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa muwalah (berkesinambungan) hukumnya wajib. Artinya, jika seseorang berhenti lama di tengah wudhu hingga anggota sebelumnya mengering, maka wudhunya tidak sah dan harus diulang.
Dalil-Dalilnya
a. Hadis Umar bin Khattab
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah:
“Seorang laki-laki melalaikan bagian dari kakinya seluas kuku ketika berwudhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, lalu bersabda, ‘Kembalilah dan perbaikilah wudhumu.’ Maka laki-laki itu kembali lalu berwudhu dan shalat.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk mengulang seluruh wudhu, bukan hanya membasuh bagian yang terlewat. Ini menandakan bahwa kesinambungan wudhu adalah hal yang penting.
b. Hadis riwayat Abu Dawud
 Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki sedang shalat, namun di punggung kakinya terdapat bagian kecil yang tidak terkena air wudhu. Nabi ﷺ bersabda:
“Kembalilah dan ulangilah wudhumu serta shalatmu.”
Imam Ahmad menilai sanad hadis ini jayyid (baik).
Perintah Nabi untuk mengulang wudhu secara keseluruhan mengisyaratkan bahwa wudhu harus dilakukan secara berkesinambungan tanpa jeda panjang.
2. Mazhab Syafi’i: Berkesinambungan Tidak Wajib
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa muwalah tidak wajib, melainkan sunnah. Menurut beliau, dalam ayat Al-Maidah ayat 6 hanya terdapat perintah untuk membasuh dan mengusap, tanpa syarat harus dilakukan tanpa jeda.
Asalkan semua anggota wajib dibasuh dalam keadaan suci dan dalam satu waktu sebelum shalat, maka wudhu tetap sah meskipun diselingi jeda.
Contoh:
Seseorang membasuh wajah, lalu berhenti sejenak untuk menjawab telepon selama beberapa menit, kemudian melanjutkan dengan membasuh tangan. Menurut Imam Asy-Syafi’i, wudhunya masih sah karena tidak ada nash tegas yang membatalkannya.
3. Mazhab Maliki: Pendapat Pertengahan
Imam Malik mengambil posisi tengah:
- Jika ada alasan yang syar’i untuk berhenti sejenak (misalnya kehabisan air, atau ada kebutuhan mendesak), maka wudhu tetap sah meskipun tidak berkesinambungan. 
- Namun jika seseorang sengaja berhenti tanpa alasan, maka ia meninggalkan sunnah muwalah, dan perbuatannya makruh. 
4. Mazhab Hanafi: Tidak Wajib
Menurut Imam Abu Hanifah, muwalah tidak wajib. Wudhu tetap sah meskipun dilakukan dengan jeda yang panjang, selama semua anggota wudhu dibasuh sebelum shalat. Namun, beliau tetap menganjurkan agar dilakukan secara berkesinambungan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.
Pendapat yang Lebih Kuat
Dari sisi dalil dan kehati-hatian dalam ibadah, pendapat Imam Ahmad yang mewajibkan muwalah dinilai lebih rajih (kuat). Hal ini karena perintah Nabi ﷺ kepada sahabat untuk mengulang seluruh wudhu, bukan sekadar membasuh bagian yang terlewat, menunjukkan pentingnya kesinambungan dalam wudhu.
Selain itu, wudhu merupakan satu kesatuan ibadah yang bersambung; terputusnya urutan dengan waktu yang lama dapat menghilangkan kesatuan amal tersebut.
Hikmah dari Tertib dan Berkesinambungan
Kedua hal ini tidak hanya sekadar aturan teknis, tetapi memiliki nilai spiritual dan hikmah mendalam:
- Menjaga kesempurnaan ibadah. 
 Tertib dan berkesinambungan menunjukkan keseriusan seorang muslim dalam mempersiapkan diri untuk menghadap Allah.
- Melatih disiplin dan ketertiban. 
 Wudhu yang berurutan dan berkesinambungan mencerminkan sikap tertib yang menjadi ciri khas seorang mukmin.
- Meneladani sunnah Rasulullah ﷺ. 
 Melakukan wudhu seperti cara beliau berarti mengikuti sunnah secara sempurna, yang akan membawa pahala besar.
- Menjaga kebersihan dan kesegaran tubuh. 
 Dengan berkesinambungan, seluruh anggota tubuh tetap basah dan bersih dalam satu waktu, meningkatkan manfaat fisik dari wudhu.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan:
- Tertib dalam wudhu—yakni membasuh anggota wudhu sesuai urutan ayat (wajah, tangan, kepala, kaki)—menurut Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad adalah wajib, sedangkan Abu Hanifah dan Malik berpendapat tidak wajib. 
 Pendapat yang paling kuat adalah wajib, berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.
- Berkesinambungan (muwalah)—yakni tidak memisahkan antaranggota wudhu dengan jeda lama—menurut Imam Ahmad adalah wajib, Imam Syafi’i berpendapat tidak wajib, dan Imam Malik berada di tengah (boleh jika ada alasan). 
 Pendapat yang lebih rajih adalah wajib, sebagaimana diperkuat oleh hadis sahih.
- Hikmah dari keduanya menunjukkan bahwa Islam menuntun umatnya untuk bersikap tertib, bersih, disiplin, dan penuh kesungguhan dalam setiap ibadah. 
Dengan demikian, seorang muslim yang ingin wudhunya sempurna hendaknya menjaga dua hal ini: tertib dan berkesinambungan, sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
 Pondok Pesantren Husnul Khotimah Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya
Pondok Pesantren Husnul Khotimah Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya 


