Menyentuh Kelamin dan Tidur yang Membatalkan Wudhu dalam Pandangan Para Ulama

Menyentuh Kelamin dan Tidur yang Membatalkan Wudhu dalam Pandangan Para Ulama – Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mensyariatkan thaharah (bersuci) sebagai syarat sahnya ibadah seorang muslim. Wudhu merupakan salah satu bentuk thaharah yang memiliki kedudukan penting dalam ibadah sehari-hari, terutama shalat. Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan wudhu agar ibadahnya diterima oleh Allah Ta’ala.

Di antara hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai pembatal wudhu adalah menyentuh kelamin dan tidur. Kedua hal ini menjadi pembahasan menarik dalam khazanah fiqih Islam karena masing-masing memiliki dasar dalil dan argumentasi yang kuat dari para imam mazhab.


1. Menyentuh Kelamin: Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah menyentuh kemaluan membatalkan wudhu atau tidak. Perbedaan ini berpangkal pada pemahaman terhadap beberapa hadits yang secara zahir tampak berbeda.

a. Pendapat Imam yang Tiga (Malik, Syafi’i, dan Ahmad)

Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, menyentuh kelamin membatalkan wudhu, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Mereka berdalil dengan hadits sahih dari Busrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّــأْ

“Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Ashab as-Sunan; at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan pula oleh Imam Ahmad).

Hadits ini menjadi dalil yang kuat bagi jumhur ulama (mayoritas) bahwa menyentuh kemaluan merupakan penyebab batalnya wudhu.

Menurut mereka, hukum asalnya seseorang yang telah berwudhu tetap dalam keadaan suci, namun dengan adanya dalil khusus seperti hadits ini, maka hukum tersebut berubah. Artinya, menyentuh kemaluan menjadi sebab baru yang mengharuskan seseorang memperbarui wudhunya.

Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa perintah dalam hadits “hendaklah berwudhu” menunjukkan kewajiban, bukan sekadar anjuran, karena konteksnya berkaitan dengan pembatal wudhu yang merupakan syarat sahnya ibadah.


b. Pendapat Imam Abu Hanifah

Berbeda dengan jumhur, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, baik dilakukan dengan syahwat maupun tidak.

Dalil yang menjadi sandaran beliau adalah hadits Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya dalam shalat, maka beliau menjawab:

“Bukankah itu bagian dari tubuhmu?”
(HR. Ashab as-Sunan)

Menurut Abu Hanifah, hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan sama halnya dengan menyentuh bagian tubuh lainnya seperti tangan atau kaki, sehingga tidak membatalkan wudhu.

Selain itu, beliau juga berpegang pada kaidah umum bahwa asal dari sesuatu adalah tetapnya hukum, yaitu suci hingga ada dalil yang kuat yang mengubahnya. Maka karena dalil yang menyatakan batal dinilai memiliki kemungkinan takwil (penafsiran), beliau memilih pendapat bahwa wudhu tidak batal.


c. Analisis dan Pendapat yang Rajih (Lebih Kuat)

Jika kedua hadits dibandingkan, maka hadits Busrah binti Shafwan memiliki sanad yang lebih kuat dan diriwayatkan oleh lebih banyak ahli hadits dengan penilaian shahih atau hasan shahih.

Sedangkan hadits Thalq bin Ali meski juga diriwayatkan oleh para imam, namun tingkat kekuatannya berada di bawah hadits Busrah.

Oleh karena itu, banyak ulama berpendapat bahwa pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat jumhur (tiga imam selain Abu Hanifah).

Mereka menganggap hadits Busrah sebagai bentuk tambahan ilmu (ziyadah al-ilm), yang menjelaskan hukum baru dari hal yang sebelumnya tidak diketahui. Dalam kaidah ushul fiqih, tambahan ilmu yang datang dari dalil shahih wajib didahulukan daripada hukum asal.

Dengan demikian, menyentuh kemaluan membatalkan wudhu, baik dengan syahwat maupun tidak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu.”
(HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan yang lainnya)

Wallahu a‘lam.


2. Tidur yang Membatalkan Wudhu

Selain menyentuh kemaluan, hal lain yang sering diperdebatkan dalam masalah wudhu adalah tidur. Tidur merupakan keadaan di mana seseorang kehilangan kesadaran sebagian atau sepenuhnya, sehingga tidak dapat mengontrol anggota tubuhnya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat apakah tidur termasuk pembatal wudhu atau tidak.


a. Pendapat Imam Abu Hanifah

Menurut Imam Abu Hanifah, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dengan posisi berbaring, miring, atau tengkurap, yakni posisi tidur pada umumnya.

Sementara itu, tidur yang tidak membatalkan adalah tidur dengan posisi duduk, ruku’, atau sujud, selama masih dalam posisi shalat.

Beliau mendasarkan pendapatnya pada hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Wudhu wajib atas orang yang tidur dengan posisi tidur, karena dengan posisi itu persendiannya mengendur.”
(HR. Abu Dawud, beliau berkata, “Hadits mungkar.” Hadits ini juga didhaifkan oleh al-Bukhari dan Ahmad).

Walaupun hadits ini dinilai lemah, namun Imam Abu Hanifah menilai maknanya dapat diterima karena secara logika, posisi tidur seperti berbaring memungkinkan keluarnya hadats tanpa terasa.


b. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang berat atau lama, sementara tidur ringan atau sebentar tidak membatalkan.

Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunggu shalat Isya, mereka tertidur lalu bangun untuk shalat tanpa berwudhu.”
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dari Abu Dawud disebutkan:

“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau menunggu Isya, kepala mereka tertunduk (karena mengantuk) kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”

Dari hadits ini, Imam Malik dan Imam Ahmad menyimpulkan bahwa para sahabat tertidur ringan, tidak sampai kehilangan kesadaran sepenuhnya. Maka tidur seperti itu tidak membatalkan wudhu, karena kemungkinan besar mereka masih bisa merasakan jika terjadi hadats.


c. Pendapat Imam asy-Syafi’i

Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu hanya jika seseorang duduk dengan posisi mantap di tanah, sehingga tidak memungkinkan keluarnya hadats tanpa disadari.

Namun jika tidur dalam posisi lain—seperti berbaring, miring, atau bersandar—maka wudhunya batal.

Pendapat ini didasarkan pada dalil yang sama dengan pendapat Malik dan Ahmad, namun Imam asy-Syafi’i menambahkan penjelasan bahwa para sahabat saat itu tidur dalam posisi duduk mantap, bukan berbaring.


d. Analisis dan Pendapat yang Rajih

Pendapat pertama (Abu Hanifah) lemah karena hadits yang menjadi dasarnya dhaif.

Pendapat ketiga (asy-Syafi’i) juga mengandung pertanyaan, karena bagaimana seseorang yang tidur bisa mengetahui apakah posisinya benar-benar mantap atau tidak, padahal ia sedang tidur?

Dari sisi logika dan kesesuaian dengan dalil, pendapat yang lebih rajih adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad, yaitu bahwa tidur ringan tidak membatalkan wudhu, sedangkan tidur berat membatalkan.

Alasannya, tidur sendiri bukanlah hadats, tetapi keadaan yang memungkinkan keluarnya hadats tanpa disadari. Jika seseorang tidur ringan dan masih bisa merasakan bila terjadi sesuatu dari dirinya, maka wudhunya tetap sah. Namun bila tidurnya berat hingga hilang kesadaran, maka wudhunya batal.


Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu menurut jumhur ulama (Malik, Syafi’i, dan Ahmad), dengan dalil yang lebih kuat dari hadits Busrah binti Shafwan.
    Pendapat ini lebih rajih karena memiliki landasan hadits shahih yang tegas dan didukung oleh mayoritas ahli hadits.

  2. Tidur membatalkan wudhu apabila tidur tersebut berat hingga seseorang kehilangan kesadaran dan tidak dapat merasakan jika terjadi hadats.
    Adapun tidur ringan tidak membatalkan wudhu, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat menunggu shalat Isya.

Kedua hal ini menunjukkan betapa Islam memperhatikan kesucian dan kebersihan seorang muslim dalam menjalankan ibadah. Mengetahui pembatal wudhu bukan hanya penting dari sisi hukum fiqih, tetapi juga merupakan bentuk kehati-hatian agar ibadah kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga Allah memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang diterima. Wallahu a‘lam bish-shawab.

About admin

Check Also

Mengusap Kepala dalam Wudhu: Pandangan Ulama dan Dalil-Dalilnya

Mengusap Kepala dalam Wudhu: Pandangan Ulama dan Dalil-Dalilnya

Mengusap Kepala dalam Wudhu: Pandangan Ulama dan Dalil-Dalilnya – Mengusap kepala merupakan salah satu rukun dalam …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya