Mengusap Pembalut Luka dalam Islam: Keringanan dalam Thaharah Bagi yang Terluka

Mengusap Pembalut Luka dalam Islam: Keringanan dalam Thaharah Bagi yang Terluka – Dalam kehidupan manusia, tidak ada yang dapat menghindari ujian, termasuk musibah atau kecelakaan. Kadang musibah itu menimpa fisik seseorang hingga menyebabkan luka, patah tulang, atau kondisi lain yang mengharuskannya dibalut atau diperban oleh tenaga medis. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan penting bagi seorang muslim: bagaimana melaksanakan kewajiban bersuci dan shalat jika sebagian anggota tubuh tertutup oleh pembalut atau perban yang tidak bisa dilepas?

Syariat Islam yang sempurna dan penuh rahmat memberikan jalan kemudahan dalam setiap kesulitan. Salah satu bentuk kemudahan itu adalah rukhsah (keringanan) dalam bersuci, yaitu mengusap pembalut luka (jabr, jabirah).

Makna Mengusap Pembalut Luka

Mengusap pembalut luka adalah tindakan syar’i yang dilakukan oleh seorang muslim ketika anggota tubuhnya yang seharusnya dibasuh dalam wudhu atau mandi junub tertutup oleh perban atau gips akibat luka, patah tulang, atau kondisi medis lainnya. Karena pembalut tersebut tidak boleh dilepas dan air tidak boleh mengenainya, maka cukup diusap bagian luarnya dengan tangan yang telah dibasahi air.

Artinya, seseorang tetap berkewajiban bersuci sebagaimana biasa—baik dengan wudhu maupun mandi junub—namun bagian tubuh yang tertutup pembalut tidak perlu dibasuh atau disiram air. Sebagai gantinya, cukup diusap bagian luar pembalut dengan tangan yang telah dibasahi air tanpa menetes, cukup sekadar meratakan basahnya.

Rukhsah ini merupakan bentuk kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya, karena Islam tidak pernah menuntut sesuatu yang di luar kemampuan manusia.

Prinsip Kemudahan dalam Syariat Islam

Syariat Islam dibangun di atas asas kemudahan dan penghapusan kesulitan. Allah Ta’ala menegaskan dalam banyak ayat bahwa agama ini tidak dimaksudkan untuk memberatkan, tetapi untuk memudahkan.

Firman Allah Ta’ala:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al-Hajj: 78)

Dan dalam ayat lain Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)

Dua ayat ini menjadi landasan umum bahwa setiap kali ada kesulitan dalam pelaksanaan hukum syariat, maka Islam menyediakan bentuk keringanan sesuai kadar kesulitannya. Maka, mengusap pembalut luka menjadi bagian dari penerapan prinsip ini.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan (tidak mampu menjalankannya).”
(HR. Bukhari)

Dengan demikian, mengusap pembalut bukanlah bentuk keringanan tanpa dasar, tetapi bagian dari prinsip pokok Islam dalam menghadirkan kemudahan bagi umatnya.

Dalil-Dalil Tentang Mengusap Pembalut Luka

Para ulama menyebutkan bahwa hukum mengusap pembalut luka bersandar pada beberapa riwayat hadits, meskipun sebagian hadits tersebut berstatus lemah (dhaif), namun saling menguatkan satu sama lain dan dikuatkan oleh dalil-dalil umum dari Al-Qur’an tentang kemudahan.

Hadits Ali bin Abi Thalib

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata:

“Salah satu pergelangan tanganku patah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku agar mengusap pembalut.”
(HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)

Namun, para ulama hadits menilai riwayat ini lemah (dhaif). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/324) berkata:

“Mereka bersepakat bahwa hadits ini dhaif karena diriwayatkan oleh Amru bin Khalid al-Wasithi. Para huffazh sepakat bahwa ia lemah. Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, dan lainnya menyebutnya pendusta besar.”

Meskipun dhaif, riwayat ini tetap menjadi indikasi bahwa ada dasar dalam sunnah mengenai rukhsah mengusap pembalut.

Hadits Jabir bin Abdullah

Diriwayatkan pula dari Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya, lalu mandi dan meninggal karenanya:

“Semestinya cukup baginya bertayamum dan membalut kepalanya dengan kain, kemudian mengusapnya dan membasuh tubuhnya yang lain.”
(HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi)

Hadits ini juga tidak kuat secara sanad. Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram menegaskan bahwa hadits ini mengandung kelemahan. Imam An-Nawawi pun dalam Al-Majmu’ menguatkan pandangan tersebut, sementara penulis Tawdih al-Ahkam menyebut bahwa hadits ini diriwayatkan secara tunggal oleh Zubair bin Khuraiq, dan menurut Ad-Daraquthni, sanadnya tidak kuat.

Namun demikian, kedua hadits tersebut saling menguatkan, dan dengan dukungan kaidah umum dalam syariat tentang kemudahan, maka hukum mengusap pembalut tetap dapat diterapkan secara sah.

Dalil Qiyas dan Kaidah Fiqh

Selain hadits, para ulama juga menetapkan kebolehan mengusap pembalut luka berdasarkan qiyas (analogi) terhadap mengusap khuf (sepatu kulit) dalam wudhu. Jika dalam kondisi normal saja diperbolehkan mengusap khuf, maka dalam kondisi darurat seperti luka, tentu lebih layak untuk mendapatkan keringanan yang sama.

Selain itu, kaidah fiqh yang sangat masyhur juga menjadi dasar hukum:

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

Dan juga kaidah:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.”

Maka, dari seluruh dalil di atas—baik nash maupun qiyas dan kaidah fiqh—jelaslah bahwa mengusap pembalut luka adalah ketentuan syariat yang kuat, sekalipun tidak terdapat hadits shahih secara eksplisit tentangnya.

Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Pembalut Luka

Para ulama menjelaskan beberapa ketentuan penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan mengusap pembalut luka agar sesuai dengan tuntunan syariat.

1. Mengusap Pembalut Berlaku untuk Hadats Kecil dan Besar

Mengusap pembalut diperbolehkan baik dalam kondisi hadats kecil (yang mengharuskan wudhu) maupun hadats besar (yang mengharuskan mandi wajib).

Artinya, jika seseorang junub atau haid lalu sembuh dari sakit dan perlu mandi, sementara sebagian anggota tubuhnya tertutup perban atau gips, maka cukup mengusap bagian yang tertutup itu tanpa harus membasuhnya.

2. Tidak Ada Batas Waktu untuk Mengusap

Berbeda dengan mengusap khuf yang memiliki batas waktu (sehari semalam bagi mukim, tiga hari tiga malam bagi musafir), mengusap pembalut luka tidak memiliki batas waktu.

Keringanan ini berlaku selama pembalut masih diperlukan untuk menjaga kesembuhan luka atau tulang patah. Begitu luka sembuh dan pembalut dilepas, maka kewajiban bersuci kembali seperti biasa.

3. Pembalut Tidak Harus Dikenakan dalam Keadaan Suci

Berbeda dengan mengusap khuf yang disyaratkan harus dipakai dalam keadaan suci, pembalut luka boleh dipasang walau dalam keadaan hadats.

Hal ini karena sifatnya darurat dan medis, bukan pilihan. Kadang seseorang dipasangi perban saat pingsan, belum sempat berwudhu, atau dalam keadaan junub. Maka, syariat memaklumi kondisi ini.

4. Pembalut Dipasang Sesuai Kebutuhan

Prinsip lain yang harus diperhatikan adalah pembalut harus dipasang secukupnya, tidak melebihi bagian yang luka atau patah.

Jika misalnya luka hanya dua sentimeter, maka pembalut cukup menutupi area tersebut. Pembalut yang melebihi kebutuhan termasuk melampaui batas, karena rukhsah hanya diberikan sesuai kadar dharuratnya.

Kaidah fiqh menyebutkan:

مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, maka ukurannya sesuai kadar darurat itu.”

5. Cara Mengusap yang Benar

Cara mengusap pembalut luka adalah dengan membasahi tangan dengan air tanpa menetes, lalu mengusapkan secara merata ke seluruh permukaan pembalut yang menutupi bagian tubuh yang terluka.

Tidak disyaratkan mengusap tiga kali sebagaimana membasuh anggota wudhu, cukup sekali usapan yang merata.

Jika air benar-benar berbahaya bagi luka, maka boleh ditinggalkan dan diganti dengan tayamum menurut sebagian ulama.

Pendapat Para Ulama

Para ulama dari berbagai madzhab sepakat tentang kebolehan mengusap pembalut luka, walaupun mereka berbeda dalam beberapa rincian.

  • Madzhab Hanafi dan Maliki: membolehkan mengusap pembalut sebagai rukhsah bagi yang terluka.

  • Madzhab Syafi’i: membolehkannya, tetapi dengan syarat bahwa pembalut dipasang karena kebutuhan dan tidak melebihi bagian luka.

  • Madzhab Hanbali: membolehkan secara mutlak selama ada uzur syar’i yang sah.

Kesepakatan ini menunjukkan bahwa hukum mengusap pembalut luka telah menjadi ijma’ amali (kesepakatan praktik) di kalangan umat Islam.

Hikmah di Balik Hukum Mengusap Pembalut Luka

Hukum ini menunjukkan betapa luas dan lembutnya syariat Islam. Allah tidak ingin umat-Nya menderita atau terbebani melebihi kemampuan.

Beberapa hikmah yang dapat dipetik antara lain:

  1. Islam adalah agama rahmat dan kemudahan.
    Tidak ada kewajiban yang tidak memiliki solusi dalam syariat.

  2. Menjaga keselamatan jiwa lebih diutamakan daripada formalitas ibadah.
    Karena membasuh luka bisa menimbulkan bahaya, maka syariat menggantinya dengan usapan.

  3. Ketaatan dalam keterbatasan tetap bernilai tinggi.
    Orang yang berusaha menjaga thaharah meski dalam keadaan sakit tetap mendapatkan pahala sempurna, bahkan lebih besar karena dilakukan dalam kesulitan.

  4. Islam memperhatikan aspek medis dan kesehatan.
    Syariat sejalan dengan ilmu kedokteran, tidak memaksa tindakan yang bisa memperparah luka.

Penutup

Mengusap pembalut luka merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ia adalah bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani.

Bagi siapa pun yang sedang terluka atau sakit, jangan merasa terhalang untuk menegakkan ibadah. Selama masih ada kemampuan, sekecil apa pun, tetaplah berusaha menjaga thaharah dan shalat, karena Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

Dengan demikian, hukum mengusap pembalut luka adalah salah satu bentuk nyata dari rahmat syariat Islam—sebuah agama yang menuntun manusia untuk selalu bersih, suci, dan taat kepada Allah dalam setiap keadaan, bahkan di tengah ujian dan penderitaan.

About admin

Check Also

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin – Dalam kehidupan sehari-hari, setiap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya