Makna dan Hukum Thaharah dalam Islam: Kesucian Sebagai Kunci Keimanan
Pendahuluan
Dalam ajaran Islam, kebersihan dan kesucian memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Islam tidak hanya mengajarkan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga menuntun manusia agar menjaga kebersihan diri, lingkungan, dan hati. Salah satu konsep penting dalam ajaran Islam yang mencerminkan nilai kebersihan dan kesucian ini adalah thaharah (bersuci).
Thaharah bukan sekadar tindakan fisik untuk menghilangkan kotoran, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Ia merupakan syarat sah dalam berbagai ibadah, seperti shalat, thawaf, dan membaca Al-Qur’an. Dalam pandangan Islam, thaharah menjadi simbol kemurnian hati, kesadaran spiritual, dan ketundukan kepada perintah Allah.
A. Hukum Thaharah dalam Islam
Thaharah hukumnya wajib, baik berdasarkan dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Banyak ayat dan hadis yang menegaskan pentingnya bersuci, karena tanpa thaharah, ibadah seseorang — terutama shalat — tidak akan diterima.
1. Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka (bersucilah) mandilah.” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Ayat ini menunjukkan kewajiban bagi setiap muslim untuk bersuci dari hadats besar, yaitu dengan mandi janabah ketika dalam keadaan junub. Hal ini menjadi dasar hukum bahwa kebersihan tubuh merupakan bagian dari syariat Islam yang wajib dipenuhi sebelum melaksanakan ibadah tertentu.
Allah juga berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir: 4)
Perintah ini menegaskan bahwa kebersihan pakaian juga merupakan bagian dari keimanan. Seorang muslim tidak hanya dituntut untuk menjaga kebersihan badan, tetapi juga pakaiannya, sebagai wujud penghormatan terhadap ibadah yang akan ia lakukan di hadapan Allah.
Selain itu, Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mencintai dua golongan manusia: mereka yang bertaubat dari dosa, dan mereka yang menjaga kebersihan dan kesucian diri. Dengan demikian, thaharah bukan hanya kewajiban, tetapi juga cermin kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
2. Dalil dari As-Sunnah
Banyak hadis Nabi ﷺ yang menegaskan pentingnya thaharah. Di antaranya:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ
“Kunci shalat adalah bersuci.” (HR. Abu Dawud, no. 61)
Hadis ini menegaskan bahwa bersuci merupakan syarat utama untuk memulai shalat. Tanpa thaharah, shalat tidak sah. Bersuci menjadi “kunci pembuka” agar seseorang dapat berkomunikasi dengan Allah dalam keadaan suci lahir dan batin.
Dalam hadis lain, Nabi ﷺ bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci.” (HR. Muslim, no. 224)
Hadis ini memperkuat penjelasan bahwa tanpa bersuci, ibadah shalat tidak diterima oleh Allah. Kesucian menjadi pondasi yang tak bisa ditawar dalam pelaksanaan ibadah.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
الطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ
“Kesucian adalah separuh dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 223)
Makna hadis ini sangat dalam. Thaharah bukan sekadar ritual kebersihan fisik, tetapi bagian penting dari keimanan seseorang. Iman seorang muslim akan sempurna bila disertai dengan kesucian diri, hati, dan amal.
B. Pengertian dan Jenis Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti an-nazhafah (kebersihan) dan az-zakâh (penyucian). Sedangkan secara istilah syar’i, thaharah adalah menghilangkan hadats dan najis agar dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan suci lahir dan batin.
Dalam Islam, thaharah terbagi menjadi dua macam besar, yaitu thaharah bathiniyah (kesucian batin) dan thaharah lahiriyah (kesucian fisik).
1. Thaharah Bathiniyah
Thaharah bathiniyah adalah penyucian hati dan jiwa dari segala bentuk dosa, maksiat, dan penyakit hati. Kesucian batin ini dicapai dengan cara bertaubat yang tulus kepada Allah, meninggalkan dosa, memperbaiki niat, serta membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.
Beberapa bentuk penyakit hati yang perlu dibersihkan antara lain:
- Syirik: menyekutukan Allah dengan sesuatu. 
- Ragu (syakk) terhadap janji dan kekuasaan Allah. 
- Hasad (dengki) terhadap orang lain. 
- Riyaa’ dan sum’ah: beribadah untuk pamer atau mencari pujian. 
- Takabbur dan ujub: merasa lebih baik daripada orang lain. 
Sebaliknya, thaharah bathiniyah dicapai dengan menanamkan sifat-sifat terpuji seperti:
- Ikhlas, melakukan segala sesuatu hanya untuk Allah. 
- Tawakkal, berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan. 
- Sabar dan rendah hati, menyadari kelemahan diri di hadapan-Nya. 
- Cinta kepada kebaikan, serta menjauh dari keburukan. 
Kesucian batin inilah yang menjadi dasar diterimanya amal ibadah seseorang. Sebab Allah menilai hati manusia, bukan hanya penampilan lahiriahnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, thaharah bathiniyah adalah proses spiritual untuk memurnikan niat dan memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
2. Thaharah Lahiriyah
Thaharah lahiriyah adalah penyucian fisik dari hadats dan najis yang menempel pada tubuh, pakaian, atau tempat shalat. Ia menjadi syarat sahnya ibadah, terutama shalat.
Bersuci dari najis dan hadats dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
a. Bersuci dari Najis
Yaitu menghilangkan benda najis dari tubuh, pakaian, atau tempat shalat dengan menggunakan air suci lagi menyucikan (air muthlaq).
Contohnya:
- Membersihkan pakaian yang terkena air kencing. 
- Mencuci najis pada lantai atau sajadah sebelum shalat. 
Najis sendiri terbagi menjadi beberapa macam:
- Najis ringan (mukhaffafah), seperti air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain ASI. 
- Najis sedang (mutawassithah), seperti darah, nanah, atau bangkai. 
- Najis berat (mughallazah), seperti air liur anjing atau babi, yang cara mensucikannya harus tujuh kali, salah satunya dengan tanah. 
b. Bersuci dari Hadats
Hadats adalah keadaan tidak suci yang menyebabkan seseorang tidak boleh melakukan ibadah tertentu.
Cara menghilangkan hadats adalah:
- Wudhu: untuk hadats kecil, seperti setelah buang air kecil, tidur nyenyak, atau menyentuh kemaluan. 
- Mandi wajib (ghusl): untuk hadats besar, seperti setelah junub, haid, atau nifas. 
- Tayamum: sebagai pengganti wudhu atau mandi ketika tidak ada air, atau ketika penggunaan air membahayakan. 
Ketiga bentuk bersuci ini menunjukkan fleksibilitas syariat Islam — bahwa Allah tidak memberatkan hamba-Nya, namun tetap menuntut kesucian dalam beribadah.
C. Makna Spiritual Thaharah
Lebih dari sekadar kebersihan jasmani, thaharah memiliki dimensi spiritual dan moral yang mendalam. Seorang muslim yang menjaga thaharah berarti:
- Menjaga kehormatan dirinya di hadapan Allah dan manusia. 
- Menunjukkan ketundukan kepada syariat Allah dengan mematuhi aturan bersuci. 
- Menanamkan disiplin dan kesadaran kebersihan dalam kehidupan sehari-hari. 
- Meningkatkan kualitas ibadah, karena kebersihan hati dan tubuh memengaruhi kekhusyukan dalam beribadah. 
Dalam pandangan para ulama, thaharah juga mencerminkan keindahan Islam (jamâl al-Islâm) — agama yang mengajarkan umatnya untuk hidup bersih, tertib, dan menjaga kesucian baik lahir maupun batin.
D. Kesimpulan
Thaharah adalah pondasi utama dalam kehidupan seorang muslim. Ia tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik, tetapi juga mencakup kesucian jiwa dan hati. Dengan thaharah, seorang muslim mempersiapkan dirinya untuk berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci dan penuh keikhlasan.
Melalui thaharah, Islam mengajarkan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “At-thuhuru syathrul iman” — kesucian adalah separuh dari keimanan.
Dengan menjaga thaharah, seseorang tidak hanya menjaga ibadahnya agar diterima, tetapi juga menjaga dirinya dari penyakit, dosa, dan kemunafikan. Thaharah adalah simbol dari keindahan iman, kemurnian niat, dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
📚 Referensi:
- Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H / Januari 2013. 
- Al-Qur’anul Karim dan hadis-hadis shahih. 
 Pondok Pesantren Husnul Khotimah Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya
Pondok Pesantren Husnul Khotimah Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya 


