Khitan dalam Islam: Tuntunan Fitrah dan Simbol Kesucian Diri

Khitan dalam Islam: Tuntunan Fitrah dan Simbol Kesucian Diri – Khitan merupakan salah satu sunnah fitrah yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Ia bukan sekadar tradisi, tetapi termasuk dalam tuntunan syariat yang membawa banyak manfaat bagi kebersihan, kesehatan, serta kehidupan sosial dan spiritual seorang muslim. Dengan berkhitan, seorang hamba tidak hanya menjalankan perintah Allah, tetapi juga meneladani para nabi terdahulu, terutama Nabi Ibrahim alaihissalam.

Dalam pandangan Islam, khitan (sunat) adalah bagian dari fitrah yang menjadi identitas umat Islam, sekaligus lambang kesucian dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Artikel ini akan mengulas secara lengkap tentang definisi khitan, dalil-dalil pensyariatannya, perbedaan hukum menurut para ulama, waktu pelaksanaan yang dianjurkan, serta pandangan syariat terhadap perayaan khitan.

Definisi Khitan dalam Islam

Secara bahasa, khitan berarti memotong atau menghilangkan sebagian kulit. Dalam istilah fikih, khitan memiliki definisi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan:

  • Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung penis (kulup), sehingga kepala penis (hasyafah) terlihat.

  • Khitan bagi wanita adalah mengambil sedikit bagian daging yang berada di ujung klitoris (bintul burh), dengan cara lembut dan tidak berlebihan.

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa khitan bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi, sekaligus sebagai bentuk pemuliaan terhadap fitrah manusia. Ia juga menjadi tanda bahwa seseorang menjalankan ajaran para nabi terdahulu yang membawa misi tauhid dan kesucian diri.

Dalil Disyariatkannya Khitan

Khitan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Fitrah ada lima perkara: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memendekkan kumis.”
(HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Hadits ini menunjukkan bahwa khitan merupakan bagian dari fitrah, yaitu kesucian dan kebersihan alami yang Allah tetapkan bagi manusia. Hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, meskipun tingkat kewajibannya berbeda (akan dijelaskan nanti).

Selain itu, khitan juga termasuk dalam tuntunan Nabi Ibrahim alaihissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:

“Nabi Ibrahim berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan kapak.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus.” (QS. Ali Imran: 95)

Dengan berkhitan, seorang muslim telah mengikuti millah Ibrahim, yaitu jalan ketaatan yang lurus kepada Allah. Inilah mengapa khitan menjadi simbol ketaatan dan tanda keislaman seseorang.

Hukum Khitan: Wajib atau Sunnah?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan, terutama bagi laki-laki dan perempuan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/300) menyebutkan adanya dua pendapat besar:

  1. Pendapat pertama:
    Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah perintah Rasulullah ﷺ tentang fitrah, yang menunjukkan kewajiban menjaga kesucian tubuh.

  2. Pendapat kedua:
    Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa khitan hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan, bukan wajib. Mereka memandangnya sebagai amalan fitrah yang sangat dianjurkan, namun tidak sampai wajib.

Adapun pendapat yang paling kuat dan moderat, sebagaimana dipilih oleh banyak ulama kontemporer dan juga penulis artikel ini, adalah pendapat yang membedakan hukum antara laki-laki dan perempuan:

  • Khitan bagi laki-laki adalah wajib, karena mengandung hikmah besar dalam menjaga kebersihan alat kelamin, menghindarkan dari najis yang tertahan, dan menjaga kesempurnaan ibadah seperti shalat dan thaharah.

  • Khitan bagi perempuan adalah sunnah dan kemuliaan, bukan kewajiban, karena tujuan kebersihannya tidak sekuat pada laki-laki.

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Ulama Saudi Arabia) nomor 2137 disebutkan:

“Khitan termasuk sunnah-sunnah fitrah. Ia disyariatkan bagi laki-laki dan perempuan, hanya saja wajib bagi laki-laki dan sunnah serta kemuliaan bagi wanita.”

Pendapat ini dianggap pendekatan yang bijak dan seimbang, karena memperhatikan sisi medis, sosial, serta maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat).

Waktu yang Dianjurkan untuk Khitan

Bagaimana dengan waktu pelaksanaan khitan? Apakah ada waktu khusus yang ditentukan oleh syariat?

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (1/308) menulis:

“Para ulama menganjurkan khitan dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran.”

Diriwayatkan bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha mengkhitan anaknya pada hari ketujuh, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Namun, sebagian ulama lain seperti Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Malik memakruhkan khitan pada hari ketujuh karena menyerupai kebiasaan Yahudi. Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Saya tidak mendengar sesuatu yang pasti tentang hal ini.”

Kesimpulannya, tidak ada hadits sahih yang menetapkan waktu tertentu untuk khitan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir:

“Dalam bab khitan tidak terdapat larangan yang sahih, tidak ada waktu tertentu yang menjadi rujukan, dan pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.”

Dengan demikian, waktu pelaksanaan khitan bersifat fleksibel. Bisa dilakukan sejak bayi, masa anak-anak, atau bahkan menjelang baligh—selama tidak menimbulkan mudarat.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah nomor 2392 menegaskan:

“Khitan tidak mempunyai waktu tertentu dalam syariat, hanya saja semakin kecil usia anak, maka semakin mudah pelaksanaannya.”

Dari sini dapat dipahami bahwa khitan sebaiknya dilakukan sedini mungkin, agar lebih ringan, cepat sembuh, dan tidak menimbulkan trauma.

Perayaan Khitan dalam Pandangan Islam

Di banyak daerah, terutama di Indonesia, khitan sering dirayakan dengan pesta atau hajatan besar. Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?

Secara prinsip, tidak ada hadits sahih maupun atsar dari para sahabat yang menganjurkan perayaan khitan. Namun, bergembira dan bersyukur atas terlaksananya khitan diperbolehkan, selama tidak mengandung hal-hal yang diharamkan.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah nomor 2392 menjelaskan:

“Kami tidak mengetahui adanya dasar dalam syariat untuk menari atau merayakan khitan. Namun berbahagia atas terlaksananya khitan diperbolehkan, karena ia termasuk perkara yang disyariatkan. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

‘Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.’ (QS. Yunus: 58)

Dengan demikian, berbahagia dan bersyukur kepada Allah atas nikmat khitan diperbolehkan, misalnya dengan membuat makanan sederhana, namun tidak dengan pesta yang berlebihan, apalagi mengandung musik, tarian, atau ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan).

Khitan bagi Mualaf Dewasa

Pertanyaan yang sering muncul adalah: bagaimana hukum khitan bagi seseorang yang masuk Islam di usia dewasa? Apakah tetap wajib atau gugur darinya?

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, dijelaskan:

“Jika seseorang masuk Islam di usia tua dan khitan menjadi berat baginya, maka kewajiban khitan gugur darinya. Ia tidak dibebani, karena dikhawatirkan hal itu menjadi penghalang baginya untuk masuk Islam.”

Artinya, Islam adalah agama yang memudahkan dan tidak membebani di luar kemampuan. Jika khitan membahayakan atau sangat menyulitkan bagi seorang mualaf lanjut usia, maka ia tidak diwajibkan untuk melakukannya. Namun jika ia mampu, maka disunnahkan untuk melakukannya sebagai bentuk penyempurnaan fitrah Islam.


Hikmah dan Manfaat Khitan

Khitan bukan hanya ibadah, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi kehidupan manusia. Di antara hikmahnya adalah:

  1. Menjaga kebersihan dan kesehatan alat kelamin, karena kulit penutup (kulup) dapat menjadi tempat menumpuknya kotoran dan bakteri.

  2. Mencegah penyakit menular, termasuk infeksi saluran kemih dan beberapa penyakit reproduksi.

  3. Menyempurnakan thaharah (bersuci), karena tidak ada lagi najis yang tertahan di sekitar organ kelamin.

  4. Meneladani Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ﷺ, sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan terhadap syariat Allah.

  5. Meningkatkan keharmonisan rumah tangga, karena khitan juga berperan dalam menjaga kebersihan dan kenyamanan hubungan suami istri.

  6. Menjadi identitas keislaman, sebagaimana dahulu para sahabat mengenali kaum muslimin dari tanda fitrah mereka.


Penutup

Khitan adalah sunnah fitrah yang menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam dalam menjaga kebersihan dan kemuliaan manusia. Ia bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi tuntunan yang bersumber dari wahyu.

Para ulama telah menjelaskan bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, dan waktu pelaksanaannya tidak ditentukan secara khusus dalam syariat. Perayaan khitan tidak memiliki dasar khusus, namun boleh bergembira dan bersyukur atas terlaksananya ibadah ini.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al-A’la: 14)

Semoga dengan berkhitan, kita termasuk golongan orang-orang yang mensucikan diri, menjaga fitrah, dan mengikuti jejak para nabi dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bish-shawab.

About admin

Check Also

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin – Dalam kehidupan sehari-hari, setiap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya