Hukum Didapatkannya Air Setelah Tayamum: Penjelasan Lengkap Berdasarkan Dalil dan Pendapat Ulama

Hukum Didapatkannya Air Setelah Tayamum: Penjelasan Lengkap Berdasarkan Dalil dan Pendapat Ulama – Tayamum merupakan salah satu bentuk keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam dalam kondisi tertentu ketika air tidak tersedia atau tidak dapat digunakan. Sebagaimana air menjadi syarat utama sahnya wudhu dan mandi wajib, tayamum hadir sebagai pengganti bagi mereka yang tidak mampu menggunakannya. Namun, timbul satu persoalan penting dalam hukum fikih: bagaimana status shalat seseorang yang telah bertayamum, lalu mendapatkan air atau mampu menggunakannya, baik sebelum, saat, maupun setelah shalat? Artikel ini akan menguraikan secara lengkap pandangan para ulama dan dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Pembatal Tayamum: Didapatkannya Air dan Kemampuan Menggunakannya

Para ulama sepakat bahwa salah satu pembatal tayamum adalah ditemukannya air jika tayamum dilakukan karena ketiadaan air, atau mampunya seseorang menggunakan air jika tayamum dilakukan karena ketidakmampuan menggunakan air (misalnya karena sakit atau bahaya tertentu).

Tayamum merupakan bentuk thaharah pengganti dari wudhu atau mandi junub. Maka, ketika sebab yang membolehkan tayamum hilang, yaitu karena air sudah tersedia atau dapat digunakan, maka otomatis tayamum menjadi batal. Prinsip ini diambil dari pemahaman bahwa pengganti gugur bersama gugurnya yang diganti.

Kasus Sebelum Shalat

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa jika seseorang yang bertayamum kemudian mendapatkan air atau mampu menggunakannya sebelum melaksanakan shalat, maka tayamumnya batal. Ia wajib meninggalkan tayamum tersebut dan menggunakan air untuk bersuci.

Dalam kondisi ini, kewajiban thaharah dengan air telah kembali, dan tayamum tidak lagi berlaku. Ia harus berwudhu atau mandi sesuai dengan kondisinya sebelum menunaikan shalat.

Kasus Setelah Shalat

Para ulama juga sepakat bahwa jika seseorang mendapatkan air atau mampu menggunakannya setelah ia melaksanakan shalat dengan tayamum, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya.

Pendapat ini merupakan yang paling kuat (rajih) dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma’ (1/135) menyatakan bahwa perkara ini telah menjadi ijma’ (konsensus) di kalangan ulama.

Dalil Hadis Tentang Dua Orang yang Bertayamum

Masalah ini ditegaskan dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, dan al-Hakim dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Dikisahkan, dua orang sahabat melakukan tayamum dan melaksanakan shalat. Setelah itu, mereka mendapatkan air sementara waktu shalat masih tersisa. Salah seorang dari mereka tidak mengulang shalatnya, sedangkan yang lainnya berwudhu dan mengulang shalatnya.

Ketika keduanya datang kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian tersebut, beliau bersabda kepada yang tidak mengulang:

“Perbuatanmu sesuai dengan sunnah.”

Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda:

“Kamu mendapatkan pahala dua kali.”

Hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa shalat dengan tayamum sah dan tidak perlu diulang setelah mendapatkan air, selama shalatnya dilakukan dalam keadaan tidak ada air. Adapun orang yang mengulang shalatnya tetap mendapat pahala karena keikhlasannya dan ijtihadnya, meskipun perbuatannya tidak sesuai dengan sunnah.

Kasus Mendapatkan Air Saat Shalat

Perbedaan pendapat muncul ketika seseorang sedang shalat dengan tayamum, lalu di tengah-tengah shalat ia mendapatkan air atau menjadi mampu menggunakannya. Dalam situasi ini, ulama berbeda pandangan: apakah ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu, ataukah melanjutkannya hingga selesai?

Pendapat Pertama: Melanjutkan Shalatnya

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut tidak perlu membatalkan shalatnya dan harus meneruskannya hingga selesai.

Alasannya, ia telah memulai shalat dengan thaharah yang disyariatkan, yakni tayamum yang sah sesuai kondisi saat itu. Shalat adalah ibadah yang tidak boleh diputus tanpa sebab syar’i, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad: 33)

Maka, selama ia telah memulai dengan cara yang benar, shalatnya tidak boleh dibatalkan hanya karena muncul sebab baru di tengah jalan.

Pendapat Kedua: Membatalkan Shalat dan Berwudhu

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa shalatnya harus dibatalkan. Alasannya, tayamum adalah thaharah pengganti, dan ketika air sudah ditemukan atau bisa digunakan, maka thaharah dengan tayamum otomatis batal.

Karena tayamumnya batal, maka shalatnya pun tidak sah untuk dilanjutkan. Ia harus keluar dari shalat, berwudhu dengan air, dan mengulang kembali shalatnya. Pendapat ini dianggap lebih berhati-hati dalam menjaga kesempurnaan ibadah.

Kesimpulan

Kedua pendapat memiliki dasar yang kuat, namun pendapat kedua dipandang lebih mendekati kehati-hatian (ahwath), karena menjaga kesucian yang lebih sempurna ketika air sudah tersedia. Wallahu a‘lam.

Faidah: Menunda atau Menyegerakan Shalat Ketika Belum Ada Air

Masalah lain yang sering terjadi adalah ketika seseorang tidak menemukan air di awal waktu shalat, tetapi ada kemungkinan akan mendapatkannya di akhir waktu. Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: menyegerakan shalat dengan tayamum atau menundanya sampai akhir waktu agar bisa berwudhu dengan air?

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab asy-Syarh al-Mumti’, terdapat dua pertimbangan yang saling bertentangan:

  1. Keutamaan shalat di awal waktu.

  2. Keutamaan shalat dengan thaharah air.

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, menunda shalat lebih utama dalam dua kondisi:

  1. Jika ia yakin akan mendapatkan air.

  2. Jika ia sangat yakin atau menduga kuat bahwa air akan tersedia.

Namun, menyegerakan shalat dengan tayamum lebih utama dalam tiga kondisi:

  1. Jika ia tahu pasti tidak ada air.

  2. Jika ia sangat yakin tidak akan menemukan air.

  3. Jika ia tidak tahu atau tidak memiliki dugaan apa pun tentang ketersediaan air.

Dengan demikian, pilihan terbaik tergantung pada situasi dan keyakinan seseorang terhadap kemungkinan menemukan air. Prinsip dasarnya adalah memaksimalkan ibadah sesuai kemampuan dan keadaan yang ada.

Faidah Tambahan: Shalat Tanpa Air dan Tanpa Debu

Ada kalanya seseorang berada dalam kondisi ekstrem — tidak memiliki air untuk berwudhu atau mandi, dan juga tidak ada debu atau permukaan tanah suci untuk bertayamum. Dalam keadaan seperti ini, apakah ia tetap wajib shalat?

Jawabannya, ia tetap wajib melaksanakan shalat sesuai keadaannya, meskipun tanpa thaharah air maupun tayamum.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

Dan sabda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam:

“Laki-laki mana pun dari umatku mendapatkan waktu shalat, maka hendaknya ia shalat.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah)

Hadis ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat tidak gugur dalam kondisi apa pun, bahkan jika seseorang tidak dapat melaksanakan thaharah sempurna. Ia hanya perlu melaksanakan shalat sesuai kemampuannya, dan tidak perlu mengulang setelah mendapatkan air atau debu.

Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting:

  1. Tayamum batal dengan ditemukannya air atau kemampuan menggunakan air.

  2. Jika air didapat sebelum shalat, maka tayamum harus ditinggalkan dan diganti dengan wudhu atau mandi.

  3. Jika air didapat setelah shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulang.

  4. Jika air didapat saat shalat berlangsung, maka terdapat dua pendapat:

    • Melanjutkan shalat (pendapat pertama).

    • Membatalkan shalat dan berwudhu (pendapat kedua, lebih hati-hati).

  5. Jika air belum ditemukan namun ada harapan mendapatkannya di akhir waktu, maka:

    • Menunda shalat lebih baik jika yakin air akan ada.

    • Menyegerakan shalat lebih baik jika tidak ada harapan air.

  6. Dalam keadaan ekstrem tanpa air dan tanpa debu, seseorang tetap wajib shalat sesuai keadaannya tanpa perlu mengulang.

Penutup

Syariat Islam selalu menghadirkan kemudahan dan tidak memberatkan pemeluknya. Dalam hal tayamum, Allah memberikan solusi agar ibadah tetap berjalan walaupun dalam keterbatasan. Kaidah besar yang menjadi landasan hukum ini adalah:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dengan memahami hukum-hukum tayamum secara mendalam, seorang muslim dapat menjaga kemurnian ibadahnya tanpa keluar dari koridor syariat. Wallahu a‘lam bish-shawab.

About admin

Check Also

Bersiwak dalam Islam: Sunnah yang Menjadi Dasar Kesehatan Modern

Bersiwak dalam Islam: Sunnah yang Menjadi Dasar Kesehatan Modern – Kebersihan adalah titik awal bagi kesehatan. …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya