Hukum Bersiwak bagi Orang yang Berpuasa Setelah Zawal: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama

Hukum Bersiwak bagi Orang yang Berpuasa Setelah Zawal: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama – Bersiwak merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang memiliki banyak keutamaan dalam menjaga kebersihan mulut serta mendapatkan ridha Allah. Dalam berbagai hadits shahih disebutkan bahwa siwak menjadi bagian dari fitrah seorang muslim. Rasulullah bersabda:

“As-siwaku mathharatun lil-fam, mardhatun lil-Rabb”
“Siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan keridhaan Allah.” (HR. an-Nasa’i)

Sunnah ini tidak terikat oleh waktu tertentu. Artinya, seorang muslim dapat bersiwak kapan saja — baik sebelum shalat, setelah bangun tidur, ketika akan membaca Al-Qur’an, atau saat hendak memasuki rumah. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa setelah zawal (setelah tergelincirnya matahari/masuk waktu Zuhur).

Persoalan ini muncul karena adanya anggapan bahwa bau mulut orang berpuasa setelah zawal merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah, sehingga tidak sepantasnya dihilangkan dengan bersiwak. Apakah benar demikian? Mari kita bahas pandangan para ulama serta dalil-dalil yang menjadi landasan mereka.


Pendapat Para Ulama Tentang Bersiwak Setelah Zawal

1. Pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ulama Syafi’iyah

Menurut Imam asy-Syafi’i, bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal adalah makruh, meskipun tetap sunnah sebelum zawal. Pendapat ini juga diikuti oleh mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’.

Imam an-Nawawi berkata:

“Bersiwak dalam kondisi apapun tidak makruh kecuali bagi orang yang berpuasa ba’da zawal, ia makruh. Imam asy-Syafi’i menyatakan demikian dalam al-Umm dan Kitab ash-Shiyam dari Mukhtashar al-Muzani serta lainnya. Kawan-kawan kami (ulama Syafi’iyah) menyepakati demikian.”

Namun, Imam an-Nawawi juga menyebutkan bahwa ada riwayat lain dari Imam asy-Syafi’i yang tidak mempersoalkan bersiwak setelah zawal, baik di pagi maupun sore hari. Riwayat ini dinukil oleh Abu Isa at-Tirmidzi, meskipun disebutnya “aneh”, tetapi dinilai kuat dari segi dalil.

2. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

Berbeda dengan pandangan mazhab Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal tidak makruh. Menurut mereka, hukum siwak tetap sunnah pada setiap waktu, termasuk ketika sedang berpuasa, tanpa pembatasan waktu siang atau malam.

3. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad memiliki dua riwayat tentang masalah ini. Dalam sebagian riwayat, beliau disebutkan memakruhkan siwak setelah zawal, sebagaimana dinukil oleh Ibnu al-Mundzir. Namun dalam riwayat lain, beliau tidak memakruhkan, dengan alasan bahwa tidak ada dalil yang jelas melarangnya.


Dalil-Dalil yang Menjadi Landasan

A. Dalil yang Menunjukkan Makruhnya Bersiwak Setelah Zawal

  1. Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

    “Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di sore hari.”
    (HR. ad-Daraquthni)

    Dalam hadits ini, yang dimaksud dengan “sore hari” adalah waktu setelah zawal.

    Namun, hadits ini lemah (dhaif) karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Kaisan Abu Umar, yang dinilai tidak kuat, serta ada keterputusan sanad antara beliau dengan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Hajar dalam at-Talkhish juga menegaskan kelemahannya.

  2. Hadits Khabbab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

    “Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di sore hari, karena tidak ada orang yang berpuasa, kedua bibirnya kering setelah zawal kecuali keduanya adalah cahaya di antara kedua matanya pada Hari Kiamat.”
    (HR. al-Baihaqi)

    Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dinyatakan oleh al-Baihaqi sendiri.

  3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain:

    “Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi miski.”
    (Muttafaq ‘alaih)

    Hadits ini shahih, tetapi tidak menunjukkan larangan bersiwak. Hadits ini hanya menjelaskan keutamaan orang berpuasa dan kedudukan bau mulutnya di sisi Allah, bukan larangan untuk membersihkannya.

    Orang yang berpendapat makruh menafsirkan bahwa bau mulut yang disebut dalam hadits tersebut timbul setelah zawal, sehingga tidak layak dihilangkan karena merupakan “aroma ibadah”.


Dalil yang Menunjukkan Tidak Makruhnya Bersiwak Setelah Zawal

Pendapat yang tidak memakruhkan bersiwak setelah zawal berdalil dengan hadits-hadits umum tentang anjuran bersiwak yang tidak dibatasi waktu, di antaranya:

  1. Hadits dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

    “Aku melihat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersiwak dalam hitungan yang tidak dapat aku sebutkan, padahal beliau berpuasa.”
    (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Bukhari secara mu’allaq)

    Meskipun hadits ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, namun banyak yang menilainya hasan karena banyaknya jalur periwayatan. Bahkan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam sebagian karyanya menyatakan sanadnya shahih.

  2. Dalil umum dari hadits-hadits tentang keutamaan bersiwak, seperti sabda Rasulullah:

    “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.”
    (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Hadits ini bersifat umum, tidak mengecualikan orang yang sedang berpuasa ataupun membatasi waktu siang atau malam.


Analisis dan Tarjih (Pemilihan Pendapat yang Lebih Kuat)

Jika dikaji dari segi kekuatan dalil, maka hadits-hadits yang dijadikan dasar makruhnya bersiwak setelah zawal semuanya lemah, sebagaimana ditegaskan oleh para ahli hadits seperti ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar.

Sementara itu, hadits-hadits yang menunjukkan anjuran bersiwak secara umum adalah shahih dan tidak dibatasi waktu. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nawawi, pendapat yang menyatakan tidak makruh bersiwak setelah zawal adalah lebih kuat (rajih) karena didukung dalil yang shahih dan bersifat umum.

Selain itu, anggapan bahwa bau mulut orang berpuasa berasal dari mulut dan akan hilang karena bersiwak adalah tidak tepat. Para ulama menjelaskan bahwa bau tersebut berasal dari perut yang kosong, akibat proses metabolisme selama puasa, bukan dari mulut itu sendiri.

Oleh sebab itu, meskipun seseorang bersiwak, bau tersebut tetap ada. Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bersiwak akan menghilangkan aroma yang “lebih harum di sisi Allah”.

Imam Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ menegaskan:

“Bersiwak disunnahkan setiap waktu, baik bagi orang yang berpuasa sebelum zawal maupun sesudahnya, karena tidak ada dalil shahih yang membatasi. Adapun bau mulut orang berpuasa tidak berasal dari mulut, tetapi dari perut yang kosong.”


Kesimpulan

Dari berbagai pendapat ulama dan dalil yang ada, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Bersiwak adalah sunnah yang tidak terikat oleh waktu, baik bagi orang yang berpuasa maupun tidak, karena hadits-hadits shahih menunjukkan keumuman perintahnya.

  2. Pendapat yang menyatakan makruh bersiwak setelah zawal didasarkan pada hadits-hadits lemah, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah kuat.

  3. Pendapat yang tidak memakruhkan bersiwak setelah zawal lebih kuat secara dalil dan lebih sesuai dengan prinsip umum syariat Islam yang menganjurkan kebersihan.

  4. Bau mulut orang berpuasa yang disebut lebih harum dari miski tidak berasal dari mulut, tetapi dari perut yang kosong, sehingga tidak akan hilang dengan bersiwak.

  5. Berdasarkan tarjih para ulama seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan Ibnu Utsaimin, hukum bersiwak setelah zawal bagi orang yang berpuasa adalah tidak makruh.


Penutup

Bersiwak tetap menjadi amalan sunnah yang membawa manfaat besar, baik dari sisi kebersihan maupun pahala. Ia menunjukkan betapa Islam memperhatikan aspek kebersihan lahir dan batin. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersiwak dalam banyak keadaan, bahkan di saat beliau sedang berpuasa.

Dengan demikian, seorang muslim yang berpuasa tetap disunnahkan untuk bersiwak, baik sebelum maupun sesudah zawal, tanpa perlu khawatir mengurangi pahala puasanya. Justru, bersiwak menjadi bentuk penghormatan terhadap ibadah itu sendiri — menjaga kebersihan mulut saat sedang mendekatkan diri kepada Allah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

About admin

Check Also

Bersiwak dalam Islam: Sunnah yang Menjadi Dasar Kesehatan Modern

Bersiwak dalam Islam: Sunnah yang Menjadi Dasar Kesehatan Modern – Kebersihan adalah titik awal bagi kesehatan. …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya