Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal menjaga kebersihan dan kesucian diri. Bersuci (ṭahārah) merupakan bagian fundamental dari ajaran Islam yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual. Bersuci menjadi syarat sah dalam pelaksanaan ibadah seperti salat, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib memahami tata cara bersuci dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ.
Di antara bentuk bersuci yang sering dilakukan sehari-hari adalah istijmar dan istinjak, yaitu cara membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil. Keduanya merupakan bagian penting dari kebersihan pribadi (naẓāfah) dan kesucian (ṭahārah). Meskipun terlihat sederhana, Islam memberikan aturan, adab, dan batasan yang jelas agar ibadah bersuci ini bernilai ibadah dan tidak melanggar kehormatan yang telah digariskan oleh syariat.
Artikel ini akan membahas secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan istijmar dan istinja’, mencakup pengertian, dasar hukum, tata cara, serta adab-adabnya, berdasarkan hadis-hadis sahih dari Rasulullah ﷺ.
Pengertian Istijmar dan Istinja’
1. Istijmar
Secara bahasa, istijmar berasal dari kata “jamar” (جَمَرَ) yang berarti batu. Maka, istijmar berarti bersuci menggunakan batu atau benda padat sejenisnya setelah buang air besar atau kecil. Tujuannya adalah untuk menghilangkan najis yang keluar dari dua jalan (kubul dan dubur).
Secara istilah, istijmar adalah membersihkan najis dengan benda padat yang suci dan dapat menghilangkan bekas kotoran, seperti batu, tisu, atau benda sejenis lainnya.
2. Istinja’
Sedangkan istinjak berasal dari kata “najā” (نجا) yang berarti bersih atau suci. Secara istilah, istinjak adalah membersihkan najis yang keluar dari qubul atau dubur dengan air.
Dengan demikian, perbedaan utama antara keduanya terletak pada alat yang digunakan:
Istinja’ menggunakan air,
Istijmar menggunakan benda padat seperti batu, tisu, atau kayu yang suci.
Islam memberikan kelonggaran bagi umatnya untuk memilih di antara keduanya, sesuai keadaan dan kemampuan. Namun, jika memungkinkan, menggabungkan keduanya—menggunakan batu terlebih dahulu lalu disempurnakan dengan air—adalah cara yang paling sempurna sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.
Hukum dan Dalil Tentang Istijmar dan Istinja’
Bersuci setelah buang hajat adalah kewajiban syar’i. Tidak sah salat seseorang jika masih dalam keadaan bernajis. Oleh karena itu, bersuci dari najis dengan istijmar atau istinja’ merupakan bagian dari kewajiban seorang Muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bersuci adalah sebagian dari iman.”
(HR. Muslim, no. 223)
Hadis ini menunjukkan bahwa kebersihan dan kesucian memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam Islam. Bahkan, bersuci bukan sekadar kebersihan fisik, melainkan juga mencerminkan kebersihan hati dan jiwa seorang mukmin.
Hal-Hal yang Berkaitan dengan Istijmar dan Istinja’
1. Larangan Beristijmar dengan Tulang dan Kotoran
Salah satu adab penting dalam istijmar adalah tidak menggunakan tulang atau kotoran kering (tinja) sebagai alat pembersih. Rasulullah ﷺ secara tegas melarang hal tersebut dalam sabdanya:
لَا تَسْتَجْمِرُوا بِالرَّوْثِ وَلَا بِالْعِظَامِ، فَإِنَّهُ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ
“Janganlah kalian beristijmar dengan kotoran dan jangan pula dengan tulang, karena keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian dari bangsa jin.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Larangan ini menunjukkan penghormatan terhadap ciptaan Allah yang lain, yaitu bangsa jin. Berdasarkan hadis ini, para ulama menegaskan bahwa tulang dan kotoran hewan memiliki kegunaan bagi makhluk lain, sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Selain itu, tidak diperbolehkan juga menggunakan benda yang memiliki nilai manfaat seperti kain, kertas, atau makanan. Menggunakan benda tersebut termasuk bentuk pemborosan dan tidak menghormati nikmat Allah. Apalagi jika benda tersebut memiliki fungsi terhormat, seperti kertas yang berisi tulisan ilmu, ayat Al-Qur’an, atau dokumen penting — maka hukumnya haram digunakan untuk bersuci.
Islam mengajarkan agar umatnya menjaga kemaslahatan dan tidak merusak sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh sebab itu, bersuci dengan benda-benda yang tidak layak atau tidak pantas termasuk perbuatan yang tercela.
2. Larangan Menggunakan Tangan Kanan untuk Beristinja’
Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan adab dan kebersihan dalam setiap perbuatan. Dalam bersuci, beliau menekankan agar tidak menggunakan tangan kanan untuk membersihkan diri atau menyentuh kemaluan.
Sabda beliau:
لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ
“Janganlah seseorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika buang air kecil dan jangan pula cebok dengan tangan kanannya.”
(Muttafaq ‘alaih; HR. al-Bukhari no. 153; Muslim no. 267)
Dari hadis ini, kita memahami bahwa tangan kanan dimuliakan dalam Islam dan digunakan untuk hal-hal yang baik, seperti makan, minum, bersalaman, atau memberi sesuatu. Sedangkan tangan kiri digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebersihan dan menghilangkan kotoran.
Larangan ini bukan sekadar etika fisik, tetapi juga merupakan pendidikan spiritual agar setiap Muslim memiliki kesadaran tinggi terhadap kesucian dan kehormatan diri. Dengan demikian, Islam bukan hanya mengatur ibadah, tetapi juga melatih adab dalam kehidupan sehari-hari.
3. Anjuran Beristijmar dengan Bilangan Ganjil
Dalam melaksanakan istijmar, disunnahkan untuk menggunakan jumlah ganjil, seperti tiga kali, lima kali, atau tujuh kali, sampai diyakini bersih. Hal ini berdasarkan hadis sahih dari Salman al-Farisi radhiyallāhu ‘anhu:
نَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَأَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ وَأَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ عَظْمٍ
“Rasulullah ﷺ melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, melarang beristinja’ dengan tangan kanan, dengan kurang dari tiga batu, serta dengan kotoran atau tulang.”
(HR. Muslim, no. 262)
Hadis ini menjelaskan beberapa adab penting sekaligus:
Tidak menghadap kiblat ketika buang hajat,
Tidak menggunakan tangan kanan untuk beristinja’,
Tidak menggunakan tulang atau kotoran,
Menggunakan batu dengan bilangan ganjil, minimal tiga kali.
Jika setelah tiga kali masih belum bersih, maka disunnahkan menambah menjadi lima kali, tujuh kali, dan seterusnya hingga bersih. Tujuannya bukan semata-mata angka ganjil, tetapi memastikan kesucian dan kebersihan sempurna dari najis.
4. Urutan dan Kombinasi antara Air dan Batu
Apabila seseorang menggunakan air dan batu secara bersamaan, maka disunnahkan mendahulukan batu, baru kemudian disempurnakan dengan air. Cara ini dianggap paling sempurna karena batu berfungsi menghilangkan benda najis (ain an-najasah), sedangkan air menyempurnakan kesucian.
Namun, jika hanya menggunakan salah satu—baik air saja atau batu saja—keduanya tetap sah selama najis benar-benar hilang.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha, beliau berkata:
مُرْنَ أَزْوَاجَكُنَّ أَنْ يَسْتَطِيبُوا بِالْمَاءِ، فَإِنِّي أَسْتَحْيِيهِمْ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُهُ
“Suruhlah suami-suami kalian untuk bersuci (cebok) dengan air. Sesungguhnya aku malu untuk menyampaikan hal itu kepada mereka, tetapi Rasulullah ﷺ melakukan demikian.”
(HR. at-Tirmidzi, no. 19, dan dishahihkan olehnya)
Hadis ini menunjukkan bahwa menggunakan air lebih utama dan lebih menyempurnakan kebersihan, karena air memiliki daya bersih yang lebih baik dibanding batu atau benda kering lainnya.
Adab dan Etika Tambahan dalam Bersuci
Selain empat hal di atas, para ulama juga menyebutkan beberapa adab tambahan dalam bersuci yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ:
Masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri dan membaca doa:
“Allahumma inni a‘udzu bika minal khubutsi wal khabā’its” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan perempuan).Tidak berbicara ketika di dalam tempat buang hajat.
Tidak menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang air besar atau kecil di tempat terbuka.
Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah atau ayat Al-Qur’an ke dalam toilet.
Tidak berlebihan menggunakan air (isrāf), karena Rasulullah ﷺ sangat membenci pemborosan meskipun dalam hal bersuci.
Menutup aurat dan menjaga pandangan ketika buang hajat.
Keluar dari toilet dengan kaki kanan dan membaca doa:
“Ghufrānaka” (Aku memohon ampunan-Mu, ya Allah).
Dengan mengikuti adab-adab ini, seorang Muslim tidak hanya menjaga kebersihan jasmani tetapi juga meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Hikmah dan Nilai Spiritual dari Istijmar dan Istinja’
Setiap ajaran Islam memiliki hikmah yang mendalam. Di balik aturan bersuci, terdapat nilai-nilai moral, kesehatan, dan spiritual yang luar biasa, antara lain:
Menjaga kebersihan pribadi, yang menjadi cerminan iman seseorang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)Menjaga kesehatan tubuh dan lingkungan, karena najis dapat menjadi sumber penyakit.
Menumbuhkan kedisiplinan dan keteraturan, karena setiap kali buang hajat harus mengikuti tata cara yang tertib dan beradab.
Menanamkan rasa malu dan sopan santun, terutama dalam menjaga aurat dan kehormatan diri.
Menumbuhkan kesadaran spiritual, bahwa setiap perbuatan sekecil apa pun, termasuk bersuci, bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Penutup
Bersuci dengan istijmar dan istinja’ bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki nilai spiritual tinggi. Islam mengajarkan tata cara bersuci dengan penuh hikmah, menjaga kebersihan, kehormatan, dan kemaslahatan manusia serta makhluk lainnya.
Dari pembahasan di atas, kita memahami bahwa:
Tidak boleh beristijmar dengan tulang, kotoran, atau benda yang bermanfaat dan terhormat.
Tidak boleh menggunakan tangan kanan untuk beristinja’.
Disunnahkan menggunakan batu dengan bilangan ganjil.
Menggabungkan batu dan air lebih sempurna.
Menjaga adab-adab lain seperti tidak berbicara di dalam toilet, tidak menghadap kiblat, dan membaca doa yang diajarkan Nabi ﷺ.
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba Allah yang selalu menjaga kesucian lahir dan batin, karena kebersihan adalah jalan menuju keridhaan dan kedekatan kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 222)