Dua Sarana Bersuci dalam Islam: Air Muthlaq dan Debu yang Suci

Dua Sarana Bersuci dalam Islam: Air Muthlaq dan Debu yang Suci – Dalam Islam, kebersihan menempati posisi yang sangat tinggi. Bersuci atau thaharah merupakan syarat utama sebelum seseorang melaksanakan ibadah seperti shalat, thawaf, atau menyentuh mushaf Al-Qur’an. Tanpa bersuci, ibadah tidak akan sah di sisi Allah Ta’ala. Karena itu, memahami tata cara dan sarana bersuci menjadi bagian penting dari kehidupan seorang muslim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memudahkan umat-Nya dalam hal bersuci dengan menyediakan dua sarana utama: air muthlaq (air murni) dan debu yang suci. Kedua sarana ini mencerminkan rahmat dan kemudahan dalam syariat Islam, yang tidak pernah memberatkan hamba-Nya.

1. Air Muthlaq: Air yang Suci dan Menyucikan

Sarana pertama dan paling utama dalam bersuci adalah air muthlaq, yaitu air yang masih murni, belum bercampur dengan sesuatu yang dapat mengubah sifat aslinya — baik warna, bau, maupun rasanya. Air muthlaq bisa berasal dari berbagai sumber alami seperti air hujan, air sungai, air laut, air mata air, air lembah, dan air salju yang mencair.

a. Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (suci lagi menyucikan).”
(QS. Al-Furqan: 48)

Ayat ini menegaskan bahwa air yang turun dari langit bersifat thahur, yakni suci dan dapat digunakan untuk menyucikan diri dari hadas maupun najis. Inilah dasar utama penggunaan air dalam bersuci.

b. Dalil dari Hadits Nabi ﷺ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ

“Air itu suci dan bisa menyucikan, kecuali bila berubah aroma, rasa, atau warnanya karena najis yang mengenainya.”
(HR. al-Baihaqi, 1/257)

Meskipun hadits ini tergolong dha’if menurut sebagian ulama, namun kandungannya memiliki dasar kuat dan disepakati oleh para ulama fiqih. Hal ini karena maknanya didukung oleh dalil-dalil lain yang sahih.

c. Jenis Air yang Dapat Digunakan untuk Bersuci

Para ulama membagi air menjadi beberapa kategori untuk memudahkan pemahaman dalam fiqih:

  1. Air Muthlaq
    Yaitu air yang suci dan dapat digunakan untuk menyucikan diri. Contohnya: air hujan, air sungai, air laut, air mata air, air salju, dan air sumur.

  2. Air Musta’mal
    Air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadas kecil (misalnya berwudhu). Mayoritas ulama berpendapat bahwa air ini suci tetapi tidak bisa digunakan kembali untuk bersuci.

  3. Air yang Bercampur dengan Zat Suci
    Misalnya air teh, air kopi, atau air bunga. Jika perubahan pada air itu sangat kuat (warna, bau, atau rasa), maka air tersebut tidak lagi disebut air muthlaq dan tidak sah untuk bersuci.

  4. Air yang Bercampur Najis
    Apabila air berubah karena najis yang masuk, baik warnanya, rasanya, atau baunya, maka air itu najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci.

d. Contoh Praktis dalam Kehidupan

Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam sering menghadapi situasi di mana sumber air terbatas. Misalnya, di pedesaan yang hanya memiliki air sumur, atau di daerah pesisir dengan air laut yang asin. Syariat Islam memberikan kelonggaran dengan menetapkan bahwa air laut pun termasuk air suci.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang hukum air laut, beliau menjawab:

“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.”
(HR. Abu Dawud, no. 83; at-Tirmidzi, no. 69)

Dengan demikian, air laut yang asin tetap dapat digunakan untuk bersuci, baik untuk berwudhu maupun mandi wajib.

2. Debu yang Suci: Sarana Bersuci Saat Tidak Ada Air

Islam adalah agama yang penuh rahmat. Ketika seseorang tidak menemukan air atau tidak mampu menggunakannya karena alasan tertentu, seperti sakit atau cuaca yang sangat dingin, maka Allah memberi alternatif berupa tayamum, yaitu bersuci dengan debu yang suci.

a. Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Kemudian jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci).”
(QS. Al-Ma’idah: 6)

Ayat ini menjadi dasar hukum tayamum dalam Islam. Sa‘idan thayyiban berarti permukaan bumi yang bersih, bisa berupa tanah, pasir, atau debu.

b. Dalil dari Hadits Nabi ﷺ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

“Telah dijadikan untukku bumi sebagai tempat sujud dan alat bersuci.”
(HR. Ahmad no. 9412; Muslim no. 523)

Hadits ini menunjukkan bahwa seluruh permukaan bumi pada dasarnya bisa digunakan untuk bersuci — selama masih suci dari najis. Hal ini memudahkan umat Islam untuk beribadah di mana pun mereka berada.

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ

“Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang Muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Jika ia menemukan air, maka hendaklah ia mengusapnya ke kulitnya.”
(HR. at-Tirmidzi, no. 124, dihasankan olehnya)

Hadits ini menegaskan bahwa tayamum bukan sekadar keringanan sementara, melainkan bentuk rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya yang dalam kesulitan.

c. Kisah Tayamum Amr bin al-‘Ash

Salah satu kisah yang menunjukkan kebolehan tayamum dalam kondisi darurat adalah kisah sahabat Amr bin al-‘Ash. Dalam suatu malam yang sangat dingin, beliau dalam keadaan junub dan khawatir akan keselamatan dirinya bila mandi dengan air dingin. Maka ia bertayamum dan melaksanakan shalat. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak menegur, tetapi menyetujui tindakan tersebut.
(HR. al-Bukhari secara mu‘allaq, Kitab Tayammum, Bab Idza Khaf al-Junub)

Kisah ini menunjukkan bahwa Islam memperhatikan keselamatan dan kesehatan manusia dalam setiap perintahnya.

3. Tata Cara Tayamum yang Benar

Tayamum dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, namun tetap harus memperhatikan tata cara yang benar sesuai tuntunan Nabi ﷺ. Berikut langkah-langkahnya:

  1. Niat Tayamum
    Dalam hati, seseorang berniat untuk menghilangkan hadas agar dapat beribadah, misalnya: “Aku bertayamum untuk mengerjakan shalat karena Allah Ta’ala.”

  2. Menepukkan Telapak Tangan ke Debu yang Suci
    Cukup satu kali tepukan ringan ke permukaan tanah, pasir, atau debu yang bersih.

  3. Mengusap Wajah
    Setelah menepukkan tangan ke debu, usaplah seluruh wajah.

  4. Mengusap Kedua Tangan hingga Pergelangan
    Kemudian usap kedua tangan hingga pergelangan tangan dengan sisa debu yang menempel.

Dengan cara ini, seseorang telah sah bertayamum dan boleh melaksanakan ibadah yang memerlukan wudhu atau mandi besar. Namun, jika setelah itu ia menemukan air, maka tayamumnya batal dan ia wajib bersuci dengan air.

4. Hikmah dan Keindahan Syariat dalam Bersuci

Kewajiban bersuci dalam Islam bukan hanya soal kebersihan fisik, tetapi juga spiritual. Air muthlaq dan debu yang suci menjadi simbol bahwa Allah memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan.

Beberapa hikmah dari ajaran ini antara lain:

  1. Menunjukkan Kemudahan Syariat Islam
    Islam tidak pernah menyulitkan pemeluknya. Jika air tidak ada, tayamum menjadi pengganti yang sah.

  2. Menanamkan Nilai Kebersihan dan Disiplin
    Bersuci membiasakan umat Islam untuk menjaga kebersihan diri, pakaian, dan tempat ibadah.

  3. Mengajarkan Ketaatan dan Tawakal
    Dengan mengikuti tata cara bersuci sebagaimana diajarkan Nabi ﷺ, seorang Muslim belajar taat pada ketentuan Allah tanpa mencari-cari alasan untuk meninggalkannya.

  4. Simbol Kesucian Hati dan Jiwa
    Bersuci secara lahiriah merupakan cerminan dari upaya menyucikan hati dari dosa dan sifat buruk.

Penutup

Bersuci adalah fondasi utama dalam ibadah seorang Muslim. Allah Ta’ala memuliakan umat Islam dengan dua sarana yang mudah dijangkau oleh siapa pun: air muthlaq dan debu yang suci. Dengan air, kita dapat membersihkan diri secara sempurna. Dengan debu, kita tetap bisa beribadah meskipun dalam keterbatasan.

Kedua sarana ini menunjukkan betapa syariat Islam itu penuh rahmat dan fleksibel, selalu memberikan jalan kemudahan tanpa mengurangi nilai ibadah. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya mempelajari hukum-hukum bersuci dengan benar agar ibadahnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Referensi:

  • Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H / Januari 2013.

  • Al-Qur’anul Karim

  • Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab fiqih klasik lainnya.

About admin

Check Also

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin

Mengusap Khuffain dalam Islam: Keringanan yang Diberikan Syariat bagi Kaum Muslimin – Dalam kehidupan sehari-hari, setiap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Logo Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya | Selamat Datang di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya