Penjelasan Lengkap Tentang Najis dalam Islam – Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian. Dalam berbagai ajarannya, Islam menempatkan kebersihan sebagai bagian dari iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“At-thahur syathrul iman” — Kebersihan adalah sebagian dari iman (HR. Muslim).
Kebersihan dalam Islam tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga meliputi kebersihan hati, jiwa, dan lingkungan. Salah satu pembahasan penting dalam masalah kebersihan adalah mengenai najis (an-najasah). Pemahaman yang benar tentang najis menjadi dasar bagi setiap muslim untuk melaksanakan ibadah dengan benar, terutama ibadah yang mensyaratkan kesucian seperti shalat, thawaf, dan membaca Al-Qur’an.
Pengertian Najis (An-Najasah)
Kata an-najasah (النَّجَاسَة) secara bahasa berarti sesuatu yang kotor atau menjijikkan. Sedangkan secara istilah fiqih, najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor menurut syariat Islam dan menghalangi sahnya ibadah yang memerlukan kesucian.
Dalam buku Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam karya Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, disebutkan bahwa an-najasat adalah bentuk jamak dari kata an-najasah, yaitu segala sesuatu yang keluar dari dua saluran pembuangan manusia (qubul dan dubur), seperti:
Tinja (al-ghaith atau al-baul)
Air seni
Madzi
Wadi
Mani
Selain itu, termasuk pula najis dari hewan yang tidak halal dimakan, darah, nanah, muntahan yang berubah, serta bangkai binatang yang tidak disembelih secara syar’i.
Dasar Hukum dan Dalil Tentang Najis
Hukum tentang najis bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama. Beberapa dalil penting di antaranya:
Firman Allah Ta’ala:
“Dan pakaianmu bersihkanlah.”
(QS. Al-Muddatstsir: 4)Ayat ini menjadi dasar umum untuk menjaga kebersihan dari najis.
Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah yang bersih dapat mensucikannya.”
(HR. Abu Dawud)Hadis ini menunjukkan pentingnya menghindari najis dan cara menyucikannya.
Hadis tentang kulit bangkai yang disamak:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit manapun yang disamak berarti telah suci.”
(HR. Muslim)Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa kulit bangkai dapat menjadi suci setelah melalui proses penyamakan.
Macam-Macam Najis
Para ulama fiqih membagi najis menjadi beberapa macam berdasarkan sumber dan tingkat kekotorannya. Secara umum, najis dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara mensucikannya juga mudah. Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Air kencing bayi laki-laki dipercikkan (dengan air), sedangkan air kencing bayi perempuan harus dicuci.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Menurut para ulama, najis ringan cukup disiram atau dipercikkan air pada bagian yang terkena tanpa perlu dicuci berulang kali.
2. Najis Mutawassithah (Najis Sedang)
Najis jenis ini adalah yang paling sering dijumpai. Termasuk di dalamnya:
Air seni manusia dewasa
Tinja (kotoran manusia)
Darah
Nanah
Muntahan yang berubah warna dan bau
Air liur anjing
Kotoran hewan yang tidak halal dimakan
Cara mensucikannya adalah dengan mencuci bagian yang terkena najis hingga hilang bau, warna, dan rasanya. Bila salah satu dari ketiganya masih tersisa, maka belum dianggap suci, kecuali yang sulit dihilangkan seperti warna samar atau bau ringan.
3. Najis Mughallazah (Najis Berat)
Najis mughallazah adalah najis yang tingkat kekotorannya paling berat. Contohnya adalah anjing dan babi, serta semua turunan dan hasil persilangan dari keduanya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.”
(HR. Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa air liur anjing, tubuhnya yang basah, bahkan bagian yang terkena jilatan termasuk najis berat, dan cara menyucikannya harus tujuh kali cucian, satu di antaranya menggunakan tanah.
Sumber Najis dan Contohnya
1. Najis dari Manusia
Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti air seni, tinja, madzi, dan wadi tergolong najis. Namun terdapat perbedaan pendapat tentang mani (air mani). Sebagian ulama berpendapat mani adalah suci, karena ia asal penciptaan manusia, berdasarkan firman Allah:
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).”
(QS. As-Sajdah: 8)
Namun sebagian lain berpendapat mani termasuk najis ringan, sehingga cukup dibersihkan dengan menggosok atau mengusap bagian yang terkena.
2. Najis dari Hewan
Segala air seni dan kotoran hewan yang tidak halal dimakan tergolong najis. Misalnya kotoran kucing, keledai, atau binatang buas. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan seperti sapi, kambing, atau ayam, tidak najis menurut mayoritas ulama.
3. Najis dari Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Seluruh bagian tubuhnya najis, kecuali ikan dan belalang yang dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: ikan dan belalang; hati dan limpa.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Namun kulit bangkai dapat menjadi suci setelah disamak, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
4. Najis dari Darah, Nanah, dan Muntahan
Darah yang banyak dan telah keluar dari tubuh manusia atau hewan termasuk najis. Begitu pula nanah yang keluar karena infeksi atau luka, serta muntahan yang telah berubah warna dan bau, termasuk najis menurut kesepakatan para ulama.
Cara Menyucikan Najis
Islam memberikan tuntunan yang jelas dalam menyucikan najis agar umatnya senantiasa hidup bersih dan suci. Cara penyucian bergantung pada jenis najis yang dihadapi.
Untuk Najis Mukhaffafah:
Cukup dipercikkan air pada bagian yang terkena najis tanpa perlu digosok atau dicuci berulang kali.Untuk Najis Mutawassithah:
Cuci bagian yang terkena najis dengan air hingga hilang bau, rasa, dan warnanya. Jika masih tersisa sedikit bau atau warna yang sulit dihilangkan, maka dimaafkan.Untuk Najis Mughallazah:
Basuh bagian yang terkena najis tujuh kali, dan salah satu basuhan menggunakan tanah atau sesuatu yang memiliki sifat pembersih serupa (misalnya sabun atau deterjen berbahan tanah liat).Untuk Bangkai yang Kulitnya Disamak:
Setelah disamak, kulit hewan yang mati menjadi suci dan boleh digunakan, kecuali kulit anjing dan babi.
Hikmah Disyariatkannya Thaharah dari Najis
Islam tidak hanya menetapkan hukum secara kaku, tetapi setiap aturan memiliki hikmah mendalam. Disyariatkannya membersihkan diri dari najis mengandung banyak manfaat, di antaranya:
Menjaga Kesucian Ibadah.
Ibadah seperti shalat tidak sah tanpa thaharah (kesucian), dan kebersihan dari najis adalah bagian penting darinya.Menjaga Kesehatan.
Najis sering mengandung kuman, bakteri, dan penyakit. Dengan menjaga kebersihan, seseorang terhindar dari berbagai penyakit menular.Menumbuhkan Etika dan Kesopanan.
Islam mendidik umatnya untuk hidup bersih, rapi, dan tidak menjijikkan di hadapan orang lain.Membentuk Kepribadian Muslim yang Mulia.
Seorang muslim yang menjaga kebersihan fisik akan lebih mudah menjaga kebersihan hati dan amalnya.Menunjukkan Kesempurnaan Syariat Islam.
Dengan adanya ketentuan rinci tentang najis, Islam menunjukkan perhatian besar terhadap kehidupan manusia secara menyeluruh — dari aspek ibadah, kesehatan, hingga sosial.
Pendapat Ulama Tentang Najis
Para ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) memiliki perincian yang sedikit berbeda dalam hal najis, tetapi prinsip dasarnya sama, yaitu menjaga kesucian dari hal-hal yang dianggap kotor oleh syariat.
Mazhab Hanafi lebih longgar terhadap beberapa najis, seperti darah sedikit yang dimaafkan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa sebagian benda yang dianggap kotor tidak selalu najis secara syar’i.
Mazhab Syafi’i lebih ketat, hampir semua kotoran tubuh dianggap najis.
Mazhab Hanbali berada di tengah antara keduanya, dengan memperhatikan dalil dan kemaslahatan.
Kesimpulan
Konsep najis (an-najasah) dalam Islam merupakan bagian penting dari ajaran tentang thaharah (kesucian). Najis mencakup segala sesuatu yang dianggap kotor dan menghalangi seseorang untuk beribadah dalam keadaan suci. Jenis najis terbagi menjadi tiga: najis ringan (mukhaffafah), najis sedang (mutawassithah), dan najis berat (mughallazah).
Islam tidak hanya menjelaskan jenis-jenis najis, tetapi juga memberikan cara penyuciannya yang praktis dan mudah dilakukan. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya syariat Islam dalam mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Dengan memahami hukum-hukum najis dan cara penyuciannya, seorang muslim akan lebih berhati-hati dalam menjaga kesucian diri, lingkungan, dan ibadahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Minhajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, najis adalah sesuatu yang wajib dihindari karena kesucian merupakan jalan menuju diterimanya amal ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.”
(HR. Muslim)
Oleh karena itu, menjaga diri dari najis bukan hanya soal kebersihan fisik, tetapi juga bukti keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Referensi:
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H / Januari 2013.
Al-Qur’an al-Karim.
Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari, Sunan Abu Dawud, dan Tirmidzi.
Pondok Pesantren Husnul Khotimah Sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya 

